Senin, 27 Mei 2013

makalah tafsir dakwah



I.                  PEMDAHULUAN
Di tengah-tengah memaparkan karakter orang-orang munafik yang di dalam hati mereka ada penyakitnya itu-kita menjumpai suatu isyarat tentang “setan-setan mereka” dan yang tampak dari paparan surah dan rangkaian peristiwa bahwa yang dimaksud dengan setan-setan itu adalah kaum yahudi, yang surah ini berisi serangan-serangan berat terhadap mereka sesudah itu. Adapun kisah mereka terhadap dakwah adalah sebagai berikut.
Kaum Yahudi adalah orang-orang yang pertama kali menolak dan memerangi dakwah di Madinah. Penolakan ini banyak sebabnya. Kaum Yahudi memiliki kedudukan yang istimewa di Yatsrib karena mereka adalah Ahli Kitab di antara bangsa Arab yang buta tulis baca, seperti Aus dan Khazraj di samping orang-orang musyrik Arab sendiri tidak menampakkan kecenderungan untuk memeluk agama Ahli Kitab itu. Hanya saja bangsa Arab itu menganggap kaum Yahudi itu lebih pintar dan lebih mengerti karena mereka mempunyai kitab. Kemudian di sana terdapat suatu kondisi yang mapan bagi kaum Yahudi di antara suku Aus dan Khazraj karena terjadi perpecahan dan perseteruan di antara mereka yang dalam lingkungan seperti inilah kaum Yahudi mendapatkan lahan pekerjaan.
Setelah Islam datang maka semua keistimewaan itu lepas dari mereka. Islam datang dengan membawa kitab yang membenarkan kitab yang datang sebelumnya dan menjaganya. Selanjutnya, Islam melenyapkan perpecahan yang diembus-embuskan kaum Yahudi untuk menciptakan suasana yang keruh, tipu daya, dan mengeruk keuntungan. Islam menyatukan barisan kaum muslimin dengan menghimpun kaum Aus dan Khazraj, yang sejak hari itu mereka dikenal dengan kaum Anshar, dipersatukan dengan kaum Muhajirin. Dari mereka semua disusunlah masyarakat muslim yang bersatu bahu-membahu dan teratur rapi yang tidak pernah ada sebelum dan sesudahnya barisan umat yang seperti itu.[1]
Pada dua Surat yang bergandengan dekat, yaitu “Al-Muzammil (orang-orang yang berselimut) dan Al-Mudatstsir (orang yang berkelumun) terbayanglah bagaimana Rasulullah SAW memulai da’wahnya. Apalagi bila dapat diketahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya) kedua surat itu. Seakan-akan orang yang berselimut, yaitu Nabi Muhammad SAW masih diselimuti oleh kebingungan demi menghadapi tugas yang amat berat, lalu beliau disuruh bangun memulai berjuang melakukan da’wah, membulatkan tekad kepada Tuhan dan membersihkan diri sendiri lahir dan batin dari apapun macam pengaruh alam ini. Dengan membaca Surat Al-Muzammil pun kita melihat bahwa Nabi SAW disuruh memperkuat jiwa, memperteguh jiwa dan membuat pribadi menjadi utuh dan tahan menghadapi segala rintangan dengan melakukan sembahyang malam (qiyamul laili).[2]
Dalam Surat Ash-Shaff kita diajar bagaimana menyusun barisan menghadapi musuh dan menegakkan jalan Allah agar bersusun bershaf teratur, lantaran susunan batu-batu tembok yang rapi dalam membangunkan rumah yang kokoh. Dan dalam surat itu juga kita mendapati ajaran tentang perniagaan yang selalu beruntung bahkan berlipat ganda untungnya, yaitu berjihad pada jalan Allah. Di samping itu diterangkan pertalian intisari kebenaran di antara tiga orang Nabi, yaitu Nabi Musa yang selalu disakiti oleh kaumnya, Nabi Isa yang mengakui bahwa kedatangannya adalah mengakui Kebenaran Taurat dan memberi khabar gembira dengan bakal datangnya Nabi bernama AHMAD sesudah dia kelak. Di ujung Surat Ash-Shaff itu dibayangkan bahwa sebagian dari Bani Isra’il percaya penuh akan ajaran Isa dan yang segolongan lagi tidak mau menerima.[3]   

II.               PERMASALAHAN
Beberapa pembahasan dari makalah ini, diantaranya adalah :
1.      Q.S. Al-Baqarah ayat 44 beserta artinya
2.      Mufradat Q.S. Al-Baqarah ayat 44
3.      Ashbabaul Wurud turunya Q.S Al-Baqarah ayat 44
4.      Tafsiran Q.S. Al-Baqarah ayat 44
5.      Q.S. As-Shaff ayat 2-3 beserta artinya
6.      Mufrdat Q.S As-Shaff ayat 2-3
7.      Tafsiran Q.S. As-Shaff ayat 2-3
8.      Q.S. Al-Muzamil ayat 10-11 beserta artinya
9.      Mufradat Q.S Al-Muzamil ayat 10-11
10.  Tafsiran Surat Al-Muzamil ayat 10-11

III.           PEMBAHASAN
1.      Q.S. Al-Baqarah ayat 44 Beserta Artinya



Artinya : “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu Berpikir? (Q.S : Al-Baqarah :44).[4]
2.      Mufradat Q.S. Al-Baqarah ayat 44
3.      Ashbabaul Wurud turunnya Q.S. Al-Baqarah ayat 44
Kaum Yahudi mengira bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah dan hanya mereka saja yang berhak memiliki risalah dan kitab suci. Maka, mereka mengira bahwa Rasul yang terakhir itu dari kalangan mereka sebagaimana yang mereka harapkan selama ini. Setelah Rasul datang dan ternyata dari kalangan bangsa Arab, maka mereka berharap bahwa mereka tidak termasuk wilayah dakwah Rosul ini, dan dakwah itu hanya terbatas pada golongan Ummi (pribumi) dari kalangan bangsa Arab saja. Ketika mereka dapati Rosul menyeru mereka- bahkan sebagai orang-orang yang lebih mengenal beliau daripada kaum musyrikin dan lebih banyak untuk menyambutnya daripada kaum musyrikin itu, maka bangkitlah kesombongan mereka untuk melakukan dosa. Mereka menganggap arahan dakwah mereka itu sebagai penghinaan dan pelecehan.
Kemudian timbullah kedengkian mereka yang amat sangat kepada Nabi SAW. Mereka dengki kepada mereka dua kali. Pertama, karena Allah telah memilih beliau dan menurunkan kitab suci kepada beliau- dan mereka tidak pernah meragukan kesahihannya. Kedua, mereka dengki kepada beliau dengan cepat dapat mencapai hasil yang gemilang di seluruh Madinah.
Meskipun di sana terdapat sebab lain bagi dendam dan kedengkian mereka, yaitu karena sikap mereka yang selalu memusuhi dan menyerang sejak hari-hari pertama, maka mereka merasa terancam bila terpisah dari masyarakat Madinah yang mereka senantiasa memegang kepemimpinan intelektual, perdagangan yang menguntungkan, dan riba yang berlipat ganda. Demikianlah, ataukah mereka harus menerima dakwah yang baru ini dan melebur ke dalam masyarakat Islam. Inikah dua hal- menurut perkiraan mereka- sebagai sesuatu yang sangat pahit.
Karena semua itulah maka kaum Yahudi menyikapi dakwah Islam seperti yang digambarkan dalam surah al-Baqarah ini (dan surah-surah lainnya yang banyak jumlahnya) dalam uraian yang cermat, yang kita petikkan di sini beberapa ayat yang mengisyaratkan hal itu. Di dalam pendahuluan pembicaraan tentang Bani Israel datanglah seruan yang tinggi ini kepada mereka.  
“Hai Bani Israel, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya aku penuhi janji-ku kepadamu, dan hanya kepada-Kulah kamu harus takut (tunduk). Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada-Kulah kamu harus bertakwa. Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu menyembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. Dan, dirikanlah Shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang yang ruku. Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (al-Baqarah: 40-44)  
Setelah mengingatkan mereka panjang lebar tentang sikap mereka terhadap Nabi Musa dan pengingkaran mereka terhadap nikmat-nikmat Allah, kedurhakaan mereka terhadap kitab mereka dan syariat mereka, serta perusakan janji mereka kepada Allah, maka datanglah firman Allah kepada kaum muslimin supaya mereka waspada dan berhati-hati terhadap kaum Yahudi itu.[5]
4.      Tafsiran Q.S. Al-Baqarah ayat 44
Bahaya para tokoh agama ini –ketika sudah menjadi perusahaan dan perindustrian, bukan lagi akidah pembebas dan pembela manusia dari kesesatan ialah mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Mereka menyuruh orang lain berbuat baik sementara mereka sendiri tidak mau melakukannya. Mereka mengajak manusia kepada kebajikan, sedang mereka sendiri mengabaikannya. Mereka mengubah kalimat-kalimat Allah dari tempatnya, menakwilkan nash-nash yang qath’I demi melayani keinginan dan hawa nafsu. Mereka membuat fatwa-fatwa dan takwil-takwil yang lahirnya sesuai dengan lahir nash, tetapi hakikatnya bertentangan dengan hakikat agama, untuk membenarkan tindakan dan hawa nafsu orang-orang berduit atau penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh pendeta-pendeta Yahudi.
Mengajak kepada kebaikan, tetapi tindakan yang bersangkutan justru bertentangan dengannya, maka dalam hal ini merupakan bencana yang dapat menimbulkan keragu-raguan di dalam jiwa, tetapi juga membahayakan dakwah itu sendiri, karena akan menimbulkan kegoncangan dan kebimbangan di dalam hati dan pikiran manusia. Pasalnya, mereka mendengar perkataan yang bagus, tetapi menyaksikan perbuatan yang buruk. Maka, mereka menjadi bingung memikirkan perkataan dan tindakan yang bertentangan ini. Tindakan semacam ini akan memadamkan cahaya yang dinyalakan akidah di dalam hati, memadamkan cahaya yang dipancarkan oleh iman, dan akhirnya orang-orang tidak percaya lagi kepada agama setelah mereka kehilangan kepercayaan kepada tokoh-tokoh agama.
Perkataan yang diucapkannya akan mati dan kering, bagaimanapun didengung-dengungkan dan dikumandangkan, karena ia tidak keluar dari hati yang mempercayai ucapannya itu sendiri. Tidaklah seseorang akan mempercayai kebenaran ucapannya kecuali kalau ia sendiri menjadi penerjemah (praktek) hidup bagi ucapannya, membuktikan dalam kenyataannya. Pada waktu itu, orang pun akan mempercayainya meskipun kalimat itu tidak didengung-dengungkan dan tidak dikumandangkan. Pada waktu itu, kekuatannya akan muncul dari prakteknya, bukan dari kumandangnya; keindahannya mengembang dari kejujurannya, bukan dari siarannya. Mustahil ia akan dapat menolong kehidupan kalau tidak bersumber dari hati yang hidup.
Menyesuaikan perkataan dengan perbuatan dan akidah dengan perilaku bukanlah perkara yang mudah dan tidak datar jalannya. Ia membutuhkan latihan, perjuangan, dan usaha. Ia membutuhkan hubungan dengan Allah, meminta bantuan dari-Nya, memohon pertolongan dengan petunjuk-Nya. Maka, pergaulan hidup, kebutuhan-kebutuhannya, dan tuntutan-tuntutannya banyak yang menjauhkan kenyataan seseorang dari apa yang dipercaya dalam hatinya atau dari apa yang diserukannya kepada orang lain. Seseorang yang tidak berhubungan dengan Kekuatan Yang Abadi adalah lemah, bagaimanapun kekuatannya. Karena, kekuatan, kejahatan, kezaliman, dan penyelewengan itu lebih besar dari kekuatannya, bahkan kadang-kadang ia dikalahkan beberapa kali. Saat-saat kelemahan itu kadang-kadang datang kepadanya sehingga ia menjadi hina dan jatuh serta merugi untuk masa lalunya, masa kini, dan masa depannya. Adapun jika dia bersandar kepada Kekuatan Yang Azali dan Abadi, ia akan menjadi kuat dan kuat, lebih kuat dari orang yang kuat. Kuat menghadapi syahwatnya, kuat menghadapi kelemahannya, kuat menghadapi kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutannya, dan kuat menghadapi orang-orang kuat yang menghadapinya.
Oleh karena itu, Al-Qur’an memberikan pengarahan kepada orang-orang Yahudi yang dihadapinya pertama kali itu dan diarahkannya semua manusia sebagai konsekuensi logisnya agar memohon pertolongan dengan bersabar dan menunaikan shalat. Mengenai orang-orang Yahudi, mereka dituntut agar mengutamakan kebenaran yang mereka ketahui itu daripada memfokuskan kepentingan pribadi (kelompok) dengan bersenang-senang di Madinah. Dan, mengutamakan kebenaran itu dengan harga (kekayaan) yang sedikit, baik hasil pelayanan keagamaan (yang mereka belokkan untuk mendapatkan keuntungan) itu maupun kekayaan dunia ini seluruhnya, agar mereka masuk ke dalam rombongan iman ini sedang mereka sendiri mengajak manusia kepada keimanan. Semua ini memerlukan kekuatan, keberanian, dan keuletan, serta memohon pertolongan dengan sabar dan shalat.



“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan, sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Al-Baqarah:45-46)
Pada umumnya, Dhamir ‘kata ganti’ “innahaa” (           ) adalah dhamir sya’n. Artinya, ajakan untuk mengakui kebenaran dengan segala sesuatunya ini sangat berat, sulit, dan sukar, kecuali bagi orang-orang yang khusyu dan tunduk kepada Allah, yang merasa takut dan bertakwa kepada-Nya, serta yakin dan percaya bahwa mereka akan bertemu dengan-Nya dan kembali kepada-Nya.
Memohon pertolongan dengan sabar ini diulang beberapa kali karena sabar ini merupakan bekal yang harus dimiliki di dalam menghadapi setiap kesulitan dan penderitaan. Penderitaan yang pertama kali ialah lepasnya kekuasaan, kedudukan, manfaat, dan penghasilan demi menghormati kebenaran dan mengutamakannya, serta mengakui kebenaran dan tunduk kepadanya.
Nah, bagaimana memohon pertolongan dengan shalat? Bagaimana menjadikan shalat sebagai penolong?
Sesungguhnya shalat adalah hubungan dan pertemuan antara hamba dan Tuhan. Hubungan yang dapat menguatkan hati, hubungan yang dirasakan oleh ruh, hubungan yang dengannya jiwa mendapat bekal di dunia dalam menghadapi realitas kehidupan dunia. Rasulullah SAW. apabila menghadapi suatu persoalan, beliau segera melakukan shalat. Sedangkan beliau adalah orang yang erat hubungannya dengan Tuhannya, dan ruhnya selalu berhubungan dengan wahyu dan ilham. Sumber yang memancar ini senantiasa dapat diperoleh setiap mukmin yang menginginkan bekal di jalan, ingin minum ketika haus, ingin bantuan ketika bantuan terputus, dan menginginkan persediaan ketika barang-barang persediaannya sudah habis.
Yakin akan bertemu Allah-penggunaan kata “zhann” dan semua bentukannya dengan arti ‘yakin’ banyak terdapat di dalam Al-Qur’an dan dalam bahasa Arab secara umum- dan yakin akan kembali kepada-Nya dalam segala urusan, merupakan tempat bergantungnya kesabaran dan ketabahan, tempat bergantungnya ketakwaan dan kepekaan, sebagaimana ia menjadi tempat bergantungnya timbangan yang benar bagi tata nilai, nilai dunia dan nilai akhirat. Apabila lurus timbangan nilai-nilai dan penghargaan ini, tampaklah bahwa nilai dan harga dunia seluruhnya adalah sedikit, sebagai benda yang tak berharga. Sebaliknya, tampaklah akhirat menurut hakikatnya, yang setiap orang yang berakal sehat tidak akan ragu-ragu memilih dan mengutamakannya. Demikianlah, orang yang mau merenungkan pengarahan Al-Qur’an yang ditujukan kepada Bani Israel itu niscaya dia akan mendapatinya sebagai pengarahan abadi yang selalu tertuju kepada semua manusia.[6]     
5.      Q.S. As-Shaff ayat 2-3 Beserta Artinya




Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Karena apa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amatlah dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. Ash-Shaff : 2-3)[7]

6.      Mufradat Q.S. As-Shaff ayat 2-3
7.      Tafsiran Q.S. As-Shaff ayat 2-3
Mula sekali dipanggil nama yang patuh, yaitu orang-orang yang beriman! Panggilan itu adalah panggilan yang mengandung pengormatan yang tinggi. Tetapi, panggilan itu diiringi dengan pertanyaan, dan pertanyaan itu mengandung keheranan dan keingkaran; Kamu telah mengaku diri orang yang beriman, dan Tuhan pun telah memanggil kamu dengan panggilan yang penuh penghormatan itu. Tetapi kamu kedapatan mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak pernah kamu kerjakan. Sebab mengatakan dengan mulut apa yang tidak pernah dikerjakan tidaklah patut timbul dari orang yang telah mengaku beriman kepada Allah. Syaikh Jamaluddin Al-Qasimiy menulis dalam tafsirnya : “Mengatakan barang yang tidak pernah dikerjakan adalah berdusta, dan berdusta sangatlah jauh daripada orang yang mempunyai murau-ah, yaitu yang tahu harga diri. Sedang muru-ah itu adalah dasar yang utama yang menyababkan timbulnya Iman. Karena Iman yang asli ialah kembali kepada fitrah yang pertama, yaitu kemurnian jiwa dan agama yang benar itulah dia. Kalau iman asli itu telah tumbuh, dengan sendirinya pula dia akan menumbuhkan pula berbagai dahan dan ranting perangai-perangai yang utama dalam berbagai ragamnya, yang diantaranya ialah ‘IFFAH’, artinya dapat mengendalikan diri. Kesanggupan mengendalikan diri menyebabkan timbulnya pula tahu akan harga diri, dan itulah dia muru-ah. Dan seorang yang telah mau berbohong tanda muru-ahnya telah luntur. Artinya imannya yang luntur. Karena suatu ucapan lidah adalah khabar berita yang mengandung arti. Arti yang terkandung ditunjukkan susunan kata. Arti terletak di dalam batin, dan ucapan yang keluar dari mulut memakai bibir dan lidah. Sedang suatu dusta adalah kata-kata ucapan mulut yang berbeda di antara yang terucap dengan yang sebenarnya di dalam hati. Dengan demikian maka pelakunya telah masuk ke dalam perangkap syaithan.
Perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan sangat dibenci oleh Allah. Hal yang demikian tidaklah layak bagi orang yang telah mengaku beriman. Ayat 2 dan 3 ini adalah peringatan sungguh-sungguh bagi orang yang telah mengaku beriman agar dia benar-benar menjaga dirinya jangan menjadi pembohong.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. berkata bahwa dia menghafal ucapan Rasulullah SAW. yang demikian bunyinya


“Tinggalkanlah barang yang menimbulkan keraguan engkau dan ambil yang tidak meragukan. Sesungguhnya kejujuran membuat hati tenteram dan dusta adalah membuat hati ragu-ragu.” (Diriwayatkan oleh At-Tarmidziy).
Sebab itu maka hati orang yang beriman itu tidaklah boleh ragu-ragu. Ragu-ragu hanya dapat hilang apabila hidup bersikap jujur. Kejujuran untuk memupuk iman. Iman itu mesti selalu dijaga. Kalau dilihat sepintas lalu saja tidaklah mungkin orang yang beriman diberi nasehat supaya jangan berbohong, jangan berdusta. Tetapi tidak jarang kejadian, karena kurang pemeliharaan iman itu jadi rusak karena dusta. Sebab itu kita dapatilah di dalam Al-Qur’an beberapa peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya dia bertaqwa.
Dalam surat ke 4, An Nisaa ayat 136 diperingatkan dengan jelas;
“Wahai orang-orang yang beriman! Berimanlah kepada Allah dengan Rasul-Nya.” (Q.S. An-Nisaa : 136)
Orang yang perkataannya tidak cocok dengan perbuatannya tidaklah akan ada padanya keberanian berjuang dengan sungguh-sungguh. Sebab, Qitaal atau Jihaad, berperang atau berjuang menghendaki disiplin jiwa sebelum disiplin sikap.
Dalam ayat ini Allah menyatakan cintanya kepada hambanya yang beriman, bilamana mereka bersusun berbaris dengan teratur menghadapi musuh-musuh Allah di medan perang. Mereka berperang pada jalan Allah, membunuh ataupun terbunuh. Tujuan mereka hanya satu, yaitu supaya kalimat Allah tetap di atas dan agama Tuhan tetap menang, di atas dari segala agama.
Tersebut, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, yang diterima dengan sanadnya dari sahabat Nabi Anu Sa’id Al-Khudry :





“Bersabda Rasulullah SAW: “Tiga orang yang Allah tertawa melihat mereka : 1) seorang laki-laki yang bangun sembahyang tengah malam, 2) Suatu qaum yang bershaff diwaktu sembahyang, 3) dan suatu qaum yang bershaff ketika berperang.”
Oleh sebab itu maka sembahyang dan berperang samalah memerlukan Iman. Di zaman Nabi SAW. hidup, Nabi Imam dalam sembahyang dan Imam dalam berperang. Kalau dalam sembahyang seorang ma’mun tidak boleh mendahului Imam, dalam peperangan seorang prajurit pun wajib patuh, tunduk, dan tidak membantah sedikit pun kepada perintah atasan.
Sa’id bin Jubair mengatakan bahwa Rasulullah SAW. ketika akan memulai peperangan dengan musuh mestilah lebih dahulu mengatur barisan; “Seakan-akan mereka suatu bangunan yang kokoh.” Muqatil bin Hayyan berkata; “Rapat bersusun di antara yang satu dengan yang lain.”
Qatadah berkata; “Seakan-akan bangunan yang kokoh! Tidakkah kau lihat seorang yang membangunkan suatu bangunan? Tidak ada yang tertonjol atau tinggi rendahan. Demikian pulalah Allah Azza wa jalla tidaklah Dia suka perintahnya tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Allah memerintahkan barisan di medan perang sebagaimana barisan di medan sembahyang berjama’ah. Teguhilah memegang perintah Allah ini supaya kamu menang!”
Dengan ajaran ini teranglah bahwa Islam bukanlah semata-mata untuk kepentingan diri, untuk bersamadi merenung diri dengan tidak mementingkan masyarakat. Seorang muslim adalah anggota dari masyarakat Islam yang besar. Di antara agama dengan keduniaan tidak ada pemisahan. Di waktu Rasulullah SAW. hidup masyarakat Islam telah terbentuk. Setelah beliau wafat, jenazah beliau belum dikebumikan sebelum diangkat Khalifah beliau yang akan menjadi IMAM menggantikan beliau. Maka tiap-tiap anggota masyarakat Islam wajiblah selalu mengokohkan Iman memperteguh hati dan sedia selalu buat berjuang.
Rasulullah SAW. bersabda :




“Barang siapa yang memohonkan agar dia mati dalam syahid dengan segala kejujuran hati niscaya Allah akan menyampaikannya ke tempat orang yang mati syahid, walaupun dia meninggal di atas pembaringannya.” (Diriwayatkan oleh Muslim dari Hadits Sahl bin Haniif).[8]
     
8.      Q.S. Al-Muzammil ayat 10-11 Beserta Artinya




Dan bersabarlah engkau atas apa yang mereka katakan itu dan hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah. Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, yang mempunyai kemewahan, dan berilah mereka tangguh sejenak. (Q.S. Al-Muzammil : 10-11).[9]
 
9.      Mufradat Q.S. Al-Muzammil ayat 10-11
10.  Tafsiran Surat Al-Muzammil ayat 10-11
“Dan bersabarlah engkau atas apa yang mereka katakan itu”.
Macam-macamlah kata-kata yang dilontarkan oleh kaum musyrikin itu terhadap Nabi SAW. untuk melepaskan rasa dendam dan benci. Dituduh gila, dituduh tukang sihir, dituduh tukang tenung dan sebagainya. Maka disuruh Tuhanlah Nabi bersabar, jangan naik darah, hendaklah berkepala dingin mendengarkan kata-kata demikian. Karena jika kesabaran hilang, pedoman jalan yang akan ditempuh atau rencana yang tengah diperbuat akan gagal semua tersebab hilang kesabaran. Sabar adalah satu syarat mutlak bagi seseorang Nabi atau seorang pemimpin yang ingin berhasil dalam perjuangannya.
“Dan hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah” (Q.S. Al-muzzamil :10)
Hijrah yang dimaksud disini belumlah hijrah negeri, khususnya belum hijrah ke Madinah. Hijrah disini ialah dengan jalan menjauhi mereka, jangan dirapatkan pergaulan dengan mereka. Jika mereka memaki-maki atau mencela, berkata yang tidak bertanggung jawab, sambutlah dengan sabar dan jangan dibalas dengan sikap kasar pula. Hijrah yang indah ialah membalas sikap mereka yang kasar itu dengan budi yang luhur, dengan akhlak yang tinggi. Tentang keluhuran budi itu telah ada pengakuan Allah atas Rasulnya pada ayat 4 dari surat ke-68, Al-Qalam. Lantaran itu bagaimana sakitnya telinga mendengarkan caci maki mereka, janganlah Nabi menghadapi mereka, jauhi saja mereka.
“Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu”.
Janganlah engkau menuntut balas sendiri terhadap kekasaran sikap orang-orang yang mendustakan itu. Teruskan saja melakukan da’wah yang ditugaskan Tuhan ke atas pundakmu. Tentang menghadapi orang-orang seperti itu dan menentukan hukumnya, serahkan sajalah kepada Allah;
“Yang mempunyai kemewahan”
Biasanya mereka berani mendustakan Rasul Allah mentang-mentang mereka kaya, mentang-mentang mereka hidup mewah penuh ni’mat, sehingga mereka tidak mau mengingat bahwa nikmat yang mereka gelimangi itu mereka terima dari Allah;
“Dan berilah mereka tangguh sejenak” (Q.S. Al-Muzammil :11) 
Artinya, biarkanlah mereka bersenang-senang, bermewah-mewah sebentar waktu. Akan berapalah lamanya dunia ini akan mereka pakai. Kemewahan itu tidak akan lama. Ada-ada saja jalannya bagi Tuhan untuk mencabut kembali nikmat itu kelak. Karena Tuhan itu Maha Kuasa memutar balikkan sesuatu. Sejauh-jauh perjalanan hidup, akhirnya akan mati. Segagah-gagah badan waktu muda, kalau umur panjang tentu akan tua. Sesehat-sehat badan, satu waktu akan sakit. Atau harta itu sendiri licin tandas, sebagaimana licin tandasnya kebon yang terbakar karena yang empunya bakhil semua, sebagai dijelaskan Tuhan dalam Surat ke 68, Al-Qalam juga.[10]




IV.           KESIMPULAN
V.               PENUTUP

Demikian makalah mengenai Q.S. Al-Baqarah ayat 44, Q.S. Ash-Shaff ayat 2-3, dan Q.S. Al-Muzammil ayat 10-11. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah selanjutnya.
                                          


DAFTAR PUSTAKA

·        Sayyid, Quthb, “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an” (Di bawah naungan Al-Qur’an Jilid 1) Jakarta, Gema Insani, 2000.   
·        Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII” Surabaya, PT Bina Ilmu Offset, 1982.
·        Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXX” Surabaya, PUSTAKA ISLAM, 1983.


[1] Sayyid, Quthb, “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an” (Di bawah naungan Al-Qur’an Jilid 1) Jakarta, Gema Insani, 2000, hal 49-50.
[2] Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXX” Surabaya, PUSTAKA ISLAM, 1983.
[3] Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII” Surabaya, PT Bina Ilmu Offset, 1982, hal 11
[4] Sayyid, Quthb, “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an” (Di bawah naungan Al-Qur’an Jilid 1) Jakarta, Gema Insani, 2000, hal 114.
[5] Ibid, hal 50-51
[6] Ibid, hal 117-119
[7]Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII” Surabaya, PT Bina Ilmu Offset, 1982, hal 154.
[8] Ibid, hal 155-159.
[9] Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXX” Surabaya, PUSTAKA ISLAM, 1983, hal 193.
[10] Ibid, hal 194-195.

1 komentar:

  1. bagus sekalli makalahnya, terima kasih dengan isi makalah ini saya dapat bekal untuk ujian komprehensif. semoga besok berjala lanjar.
    amin ya rabbal alamin.

    BalasHapus